Yang lain pada sibuk mikirin BBM. Tapi saya masih setia mikirin kemajuan anak didik saya. Buka gak perduli hal lain sih, tapi lebih fokus sama tugas negara yang saya embang. Ha ha ha
Mau BBM naik atau gak, di sini emang apa-apa sudah mahal, sudah susah. Ya, kalau BBM naik jelas berdampak di sini juga. Pusing-pusing mikirin percuma, gak ngerti seluk beluk keputusan pemerintahan, gak ngerti politik, gak ngerti sistem ekonomi dengan baik, mau ngoceh ini itu takutnya salah mending diam dan nikmati, setidaknya hati berdoa dan bersabar.
Yang saya mengerti saat ini. Menebar senyum, menularkan semangat, berbagi suka cita dan pengetahuan. Belajar dan mengajar. Belajar banyak hal dan mengajarkan banyak hal sederhana yang lebih bermakna serta berguna.
Bukan gak perduli atau tak satu rasa dengan orang-orang yang eksis dengan perkembangan ini itu. Saya orang yang kadang merasa cukup tau, toh saya tau mana yang bisa saya rubah dan tidak. Hahaha, saya PD atau pesimis sebenarnya, saya gak tau.
Miris? Iya tapi gak terlalu kok. Saya lebih miris kalau anak-anak negeriku ini tak pandai dan banyak yang putus sekolah, terabaikan, merasa disia-siakan.
Sedih? Iya pastinya, keluargaku juga bukan orang mampu kok, petani, bukan orka.Tapi, positif thinking boleh.
Kesal? Ah, biasa aja. Sepertinya saya lebih kesal kalau anak-anak negeri ini suka berbicara seenaknya tanpa tau pasti, tidak sopan apalagi mencaci—sok tau.
Jadi maunya apa? Gak tau maunya apa. Mau saya banyak, banyak banget. Sama dengan mau kalian, susah menjelaskannya. Ah, lupakan, saya tidak mau berbicara banyak tentang itu.
Sekilas info tentang foto ini:
Anak-anak ini sedang menggambar sesuatu dan mewarnainya, setelah pulang sekolah. Yang punya pewarna, anak berpakaian pramuka–siswi kelas 3. Sepatunya pemberian, hari itu sebenarnya hari kamis, tapi anak itu tidak memiliki seragam selain pramuka. Jadi itulah yg ia kenakan, kadang ia hanya memakai roknya, seperti anak berpakaian biasa di sebelahnya. Anak itu siswi kelas satu yang selalu masuk sekolah meskipun tidak memiliki baju putih dan baju olahraga. Dia selalu semangat.
Perhatikan anak yang memakai pando. Namanya Maria, anak yang bisu, tapi tak sekalipun ia tidak masuk sekolah selama saya di sini. Hari itu kebetulan ia meminjam pakaian kakaknya, padahal hari biasanya ia tak memakai seragam sama sekali. Saya tau karena setiap pagi ia berbari paling depan. Di kelas ia tak bisa bernyanyi, bersorak, membaca dan mengungkapkan apa yang ia rasakan. Meski begitu ia selalu menjadi anak yang ceria, tersenyum padaku bahkan tertawa saat aku berusaha berinteraksi dengannya. Ah, dia selalu setia menulis tanpa disuruh, setia mendengarkanku menjelaskan, ikut bertepuk tangan saat kami semua bernyanyi. Saya selalu ingin tau apa yang ia rasakan, tapi bagaimana caranya. Ah, saya tak tau. Selama ini dia hanya menjawabku dengan senyum dan tatapan yang samar-samar kumengerti. Aku tidak tau, apakah dia mengerti atau tidak pelajaran yang kusampaikan. Tapi, kakaknya sangat pandai—diantara yg lain.
*
“Hallo,” Sapaku disaat melangkah menuju rumah dan mendapati mereka sedang duduk direrumpitan samping kamar mandi. Jika anak kelas lima akan menjawab ‘Hai’. Anak-anak ini akan menjawab kata yang sama yang saya ucapkan ‘Hallo’.
“Kalian sedang apa?” Tanyaku penasaran sambil mendekat dan duduk diantara mereka. Anak-anak itu tersenyum malu-malu menutupi gambar mereka.
“Kalian menggambar? Ibu guru boleh lihat tidak?” Godaku sambil mengganggu.
“Ah, tidak baik ibu guru.”
“Tidak. Ibu tidak akan bilang begitu. Ibu guru boleh lihat toh? Boleh? Sedikit saja” Mungkin kali ini saya terkesan memaksa dengan senyum mengembang tapi nyatanya anak-anak ini malah memasukkan buku mereka ke tas rajutan tali mereka.
“Ah, tidak papa. Besok-besok ibu guru boleh lihat toh?” Kecewaku memaklumi.
“Boleh. Tapi ibu guru ajar kami dulu, baik.”
“Bisa. Kalian tidak lapar? Tidak pulang?” Aku mengalihkan setelah mengiyakan. Anak-anakku banyak yang rumahnya jauh bahkan hingga 4 km, termaksud anak-anak ini. Terik matahari sudah tepat di atas kepala, aku yakin perut mereka mulai sakit. Bahkan saya perna mendapati salah seorang muridku berbaring dirumput belakang sekolah, ternyata ia sedang kesakitan karena lapar. Oh Tuhan, mereka jarang sekali sarapan, sarapanpun mungkin hanya dengan ubi rebus atau bakar. Sedihnya lagi si Desi, yang sering tak makan seharian karena orang tua yang tak bertanggung jawab. Kasihan. Tapi, aku tak bisa berbuat apa-apa selain berbagi senyum, sesuatu semampu dan semauku.
Kelima anak itu tak menjawab. Malah bertanya hal lain.
“Ibu guru? Mengajar kami banyak boleh? Bapak guru tidak baik.” Aku terdiam memikirkan jawaban yang tepat dan dapat dimengerti oleh mereka.
“Ibu guru tidak mau kah?” Lanjutnya menanti jawabku
“Ah, tidak toh. Ibu guru mau sekali mengajar kalian semua setiap hari. Mau sekali. Tapi, bapak kepala sekolah kasi ibu guru tugas kelas lima toh. Lalu jika ada bapak guru, tidak mungkin ibu masuk kelas kalian begitu, nanti bapak guru marah kan.” aku terkesan serius. Harusnya kujawab dengan jawaban lain, tapi aku tak bisa berbohong terutama pada diriku sendiri.
“Bapak guru masuk sebentar saja.”
“Tapi ada toh? Biasa kalau trada, ibu guru masuk kan. Makanya, kalau ibu masuk belajar baik boleh. Mau jadi pintar kah tidak?”
“Mau.” Aku merangkul anak di sampingku dan menyuruh yang lain lebih mendekat.
“Bagus. Ini janji kalian sama ibu guru kan, jadi tidak boleh malas ke sekolah.” Kami duduk berderet, mata-mata itu menatapku serius menanti kalimatku berikutnya tapi aku terdiam menatap balik ke kiri lalu ke kananku.
“Ah, kalau mau pintar senyum dulu. Ayo dekat-dekat sini. Di belakang ibu guru boleh.”
Aku mengeluarkan ponsel dari sakuku, memilih ‘camera’ dan mengarahkannya ke kami. Mereka mulai tertawa-tawa melihat wajah mereka dilayar.
“Ayo siap. Senyummm… Tidak baik banyak gerak. 1 2 3” Hahah. Anak-anak, diberitahupun pasti tak sepenuhnya mengerti. Mereka goyang sana-sini, dari sekian banyak foto, hanya ada 4 yang bagus.
“Ah… Bagus toh? Setelah ini pulang boleh. Belajar di rumah baik. Nanti mama cari.” Aku menunjukan semua foto-foto kami, mereka tertawa melihatnya.
Murid-muridku sayang. Jangan pernah merasa aku membeda-bedakan kalian. Justru aku ingin kalian mengerti bahwa, kalian memiliki hak dan kesempatan yang sama, sama dengan mereka di sana—yang katanya lebih baik.
Aku ingin kalian paham. Setiap orang di dunia ini, setiap anak Indonesia berhak untuk hidup yang lebih baik.
Anak-anak harapan bangsaku. Abaikan kata dan pandangan mereka tentangmu—yang mereka tak tau kenyataannya. Tak perduli jalanmu berkelok berkerikil bahkan berduri sekalipun. Kau harus terjatuh dan bakit berkali-kali demi harapan dan cita-citamu, tersenyum dan semangatlah sayang! Aku akan selalu mendoakanmu dan mengharapkan hari-hari cerahmu.