Arsip

Danau ke-2 Jayawijaya – Papua (Wamena) – Indonesia

 

Penjelasan

Aku tersenyum senang, ternyata ketakutanku akan kehilangan hanya sebuah alasan yang sia-sia agar menunda kejelasan. kamu masih di sini, masih ada untukku tanpa perduli sakitnya dirimu. Maaf, gumamku setiap saat kamu ada lagi dan lagi memberi tawa.

Sepertiya kamu masih berharap pada takdir untuk mempertemukan kita, menginginkan ‘batas waktu sendiri’ itu terwujud. Aku tak berhak melarangmu, sama halnya kau tak berhak memaksaku.

“Biarkan waktu yang menjawab. Semua yang terjadi atas kuasa Tuhan.”

Kecewa

Stop. Segalanya terhenti ketika kata-kata santai dari mulutmub tertangkap telingahku. aku ikut tertawa saat kau tertawa begitu bahagia, pafahal aku tak bahagia sama sekali, aku ingin mennagis, taukah tawa ini untuk diriku sendiri yang terlalu kasihan. Ah, aku memang bodoh. Aku percaya begitu saja. Rasanya aku ingin pergi, kemana saja yang membuatku melupakan perih ini. Kalian seolah mempermainkanmu. Aku merasa terjebak berada di sini. Di salah satu garis hitam dikertas.

Kamu atau dia (?)

Kau tau? Aku benci berada di sini, di antara kalian terutama dalam keadaan yang serba salah dan terburuk dalam kebingungan. Yah. Kamu. Kalian berdua penyebabnya. Boleh aku pergi saja? Aku menginginkannya kini.

Seseorang yang membuatku merasa tak kesepian, seseorang yang menarikku mendekat lalu berlahan mengusap air mataku. seseorang yang menenangkanku saat ingin mengamuk dengan segala yang ada dalam hari-hariku yang terasa sulit. Seseorang itu dia. Tak ada yang begitu special hanya sebuah memiliki dan sayang yang standar. Aku memanggilnya ‘kakak’ meski kami terpaut beberapa bulan.

Lalu kamu. Kamu bukan orang asing. Aku jauh lebih dulu tau tentangmu, hanya sekedar tau. Mungkin begitu juga denganmu. Hingga kini kita berada ditempat yang sama. Aku tak mengerti seperti apa kamu menganggapku. Yang jelas dalam kepalaku, sugesti diriku, aku menganggapmu lebih dewasa, setidaknya begitu yang kuharapkan tentangmu, karena nyatanya memang kita terpaut usia beberapa tahun.


Aku jenuh berada di sini. Posisi dimana aku harus menjadi teman berbicaramu, terpaksa memasang kupingku dengan segala ceritamu, menahan rasa pusingku dengan segala hal yang ingin kau bagikan agar kuketahui, aku bosan mendengarkan segalanya. Ini itu, tentang dia, tentang si itu dan si ini.  Aku ingin memberontak tapi aku sadar itu bukan diriku, terlebih kata sahabatku aku butuh menjadi pendengar yang baik.

Okey. Aku bertahan untukmu sebagai adik yang sebenarnya aku tak ingin dianggap begitu. Kamu hanya bagian dalam perjalananku, dan mungkin hanya saat ini, saat kita berada di tempat yang sama dengan status yang sama, demi tugas yang sama. Tapi? di sini lain aku menghargaimu sebagai sosok yang harus kuhormati terlebih memang kamu sosok yanglebih unggul di beberapa hal dari diriku.


Dia tak pernah mengakui hal yang kamu katakan tentangnya padaku. Aku harus percaya siapa? Kamu? atau dia?

Lalu, apa salahku jika aku ingin menjauh dari kalian saja?
Satu hal yang tertanam dibenakku aku tak pernah menginginkan berad diposisi ini.
Aku ingin memilihmu tapi aku tak perna menyukai apa yang ada padamu terkhusus sikap dan caramu. Jika aku memilih dia, aku takut aku salah pilih.
16 maret 2015 (in Wamena)