Catatan Harian (12-16 Januari 2015)


Isaima, Distrik Kurulu – Jayawijaya

12 Januari – 16 Januari 2015

000_0008

Ditemani segelas susu coklat dan cemilan aku harus menyelesaikan tumpukan-tumpukan ini. Tangan mulai keram, penggaris jatuh terinjak—patah, suasana bosan mulai terasa, di luar angin kencang dan mendung serta suara-suara langit membuatku menggerutu karena tak turun hujan, setidaknya jika turun hujan aku tak perlu mengambil air jauh ke kali.

Belum lagi panggilan telpon dan sms yang membuatku ‘bad mood’, pertanyaan-pertanyaan yang membuatku marah. Sekolah sudah masuk sejak senin kemarin, karena suatu hal aku harus datang pagi sekali dari kota dan kembali siang,  lelah sehingga kuputuskan bermalam di posko (rumah yang disediakan sekolah).

Empat hari bolak-balik kota dengan jarak hampir 30 km bukan  hal yang muda,  lalu kenapa terlalu mengkhawatirkanku menginap sendirian di sini? Lalu kenapa kau tak ingin kesekolah sepertiku? Rasanya sia-sia kau bertanya dan terus bertanya seolah menyuruhku mengikuti langkahmu.

Abaikan saja. Aku jenuh mengalah, aku bukan sombong tapi memang tak ada yang harus ditakutkan, Tuhan akan menjaga kita yang percaya perlindunganNya. Aku tau persis apa yang kau rasakan saat aku meninggalkanmu semalam saja di sini waktu itu, mengertilah itu keterpaksaan dan keadaan tak mendukung, aku tak bermaksud, berbeda dengan kali ini yang atas keinginanku sendiri.  Mari kita jangan terlalu merisaukan sesuatu. Bukankah kamu sering bilang “hidup sudah susah ngapain dibuat susah, hehe”. Setiap kamu berkata itu dan tertawa, aku mengangguk menginyakan sependapat.

Btw, semalam empat muridku setia kok belajar dan menemaniku, orang tua mereka malah senang dan memperbolehkan.

000_0007


Masih duduk di ruang tamu dengan meja penuh benda-benda memusingkan (aku harus mengisinya dengan angka-angka yang menjadi penentu, lalu membubuhkan kalimat penyemangat di setiap kolom yang tersedia.

Jam di layar ponselku sudah menunjukan pukul 15.20  waktu Isaima (Indonesia Timur),  kuletakkan ponselku dan memperhatikan masyarakat yang lewat beramai-ramai.  Para bapak yang menggendong atau memikul babi dan para mama yang membawa noken berisi banyak. Aku tau  mereka ingin kemana, mereka ingin kerumah duka. Berdasarkan info dari muridku semalam dan info dari bapak guru tadi, salah seorang di kampung ini telah berpulang. Duka itu di rumah kepala kampung (kepala suku)—salah satu keluarga mereka, aku ingat saat kemarin Kemai (murid kelas enam, cucu kepala suku datang membawa kertas bertuliskan permintaan izin).

“Pergi rumah ibu guru, izin untuk tidak masuk sekolah satu dua hari karena ada duka.”

Begitu tulisan yang kuperkirakan ditulis oleh salah satu anggota keluarga Kemai. Setia ada duka aku sangat ingin datang, namun apalah daya aku selalu ragu. Bukan tak ingin menghargai mereka dan turut berbelasungkawa. Seperti halnya awal bulan aku berada di sini, kepala suku yang lama telah perpulang, aku tak datang.

Oia, jika ada yang meninggal di sini tidak dikubur tapi di bakar. Salah satu teman saya punya vidio prosesinya, dan ada juga yang punya fotonya. Menurutku setelah menonton proses tersebut, mereka kasihan. (kapan-kapan saya posting tentang proses pembakaran jenazahnya).

Tinggalkan komentar